Pages

Rabu, 08 Juni 2011

TAFSIR AL FATIHAH AYAT 5 – 7


TAFSIR AL FATIHAH AYAT 5 – 7

BAB I
PENDAHULUAN


Al-Qur’an adalah petunjuk Allah yang bila dipalajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.
Salah satu bagian dari Al-Qur`an yang sangat penting dan patut digali isinya adalah Surah Al Fatihah. Tidak ada surah didalam Al-Qur`an selain Al Fatihah yang diwajibkan dibaca setiap hari sebanyak 17 kali, yaitu ketika shalat lima waktu. Ini menandakan bahwa surah ini sangat penting.
            Begitu pentingnya surah Al Fatihah, sehingga para penulis banyak yang membahasnya dari berbagai aspek. Namun  yang berhubungan langsung dengan pendidikan, masih kurang atau bahkan belum ada. Padahal jika diperhatikan banyak ayat-ayat Al Fatihah yang mengisyaratkan hubungannya dengan pendidikan.








BAB II
TAFSIR AL FATIHAH AYAT 5 – 7


A. LAFADZ AYAT 5 -7 DAN TERJEMAHNYA




Tejemah
Ayat 5 ;Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan
Ayat 6 ; Bimbing ( antar )lah kami ( memasuki ) jalan lebar dan luas
Ayat 7 ; ( yaitu ) jalan orang orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan ( jalan ) yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) orang orang yang sesat

A 1. Ayat Ke Lima :
“hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan”.
Didahulukan maf’ul (objek) yaitu kata iyyaka, dan setelah itu diulangi lagi, adalah merupakan tujuan mendapatkan perhartian dan juga sebagai pembatasan. Artinya “ Kami tidak beribadah keculai kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu. Inilah puncak kesempurnaan keta’atan dan inilah tujuan diciptakannya manusia:
Kalimat iyyaka na`budu, hanya Engkaulah yang Kami sembah, merupakan pernyataan berlepas dari kemusyrikan, sedangkan pada kalimat wa iyyaka nastaiinu, merupakan pengakuan bahwa segala usaha keras dengan perencaan yang matang dapat dicapai hanya jika Allah menolong.
Iyyaka na’budu didahulukan dari wa-iyyaka nasta’inu karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan hanya merupakan sarana untuk beribadah. Juga karena pertolongan merupakan buah dari ibadah.
Iyaka na`budu mengajarkan dua hal besar yang akan mendatangkan kebahagiaan dunia serta akhirat. Pertama, kita harus mengerjakan amal-amal yang bermanfaat dan berusaha sekuat tenaga menyempurnakannya. Setelah usaha tersebut tidak berhasil atau takut tidak berhasil, maka baru meminta pertolongan. Kedua, kita wajib mengkhususkan pertolongan kepada Allah setelah menyempurnakan usaha. Inilah ruh agama dan kesempurnaan tauhid yang murni.
Redaksi ayat ini adalah bukti bahwa aklimat kalimat tersebut adalah pengajaran. Ia diajarkan Alloh agar kita ucapkan karena mustahil Alloh Yang Maha Kuasa itu berucap demikian bila bukan untuk pengajaran.
Iyyaka merupakan kata yang menunjuk pada persona kedua.dalam hal ini yang dimaksud adalah Alloh. Ini berarti iyyaka mengajarkan untuk mengucapkan iyyaka menuntut pembaca agar menghadirkan Alloh dalam benaknya.
Hikmah didahulukan ibadah daripada meminta tolong ialah:
- Ibadah adalah hak Allah, sedangkan meminta tolong adalah permintaan mereka.
- Doa yang didahulukan dengan ibadah amat mustajab, seperti doa orang berbuka puasa ketika berbuka adalah mustajab kerana ia dilakukan selepas beribadah, iaitu ibadah puasa.
- Ibadah merupakan amanah yang besar yang dipikul oleh manusia, meminta tolong kepada Allah nescaya Allah menolongnya sehingga dapat ditunaikan hak ibadah dan dapat keluar daripada kezaliman dan kejahilan.
- Konsep ibadah merupakan asal matlamat ciptaan jin dan manusia, justeru perlaksanaannya dengan meminta doa dan meminta pertolongan kepada Allah hingga akhir hayat.

A 2.  Ayat Ke Enam
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Setelah menyampaikan pujian kepada Allah dan hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti dengan permintaan agar diberikan hidayah kejalan yang lurus.
Kata ihdina terambil dari akar kata haada. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama, tampil kedepan memberi petunjuk, kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sinilah lahir kata hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati  dan hidayah yang prtunjuk kebahagiaan duniawi dan rohani.
Hidayah ke jalan yang lurus pada hakikatnya ialah Hidayah untuk memimpin fitrah manusia kepada undang-undang Allah yang mengatur dan memperseimbangkan di antara harakat manusia dengan harakat ‘alam al-wujud seluruhnya menuju kepada Allah Tuhan Semesta ‘Alam
Hidayah adalah petunjuk yang lembut tentang sesuatu yang mengantar pada perkara yang dicari. Ada empat hidayah Allah kepada manusia yang akan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan. Pertama, hidayah insting (naluri) yang sudah diberikan Allah sejak lahir. Contoh kecil, bayi memberitahukan rasa laparnya secara naluri, dengan menangis. Kedua, hidayah rasa dan alat indera. Hidayah ini melengkapi hidayah pertama dalam kebutuhan hidup manusia. Ketiga hidayah akal. Keempat hidayah agama.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Shirath Al-Mustaqim, jalan yang lurus adalah agama, kebenaran, keadilan, atau aturan-aturan (hudud). Sementara Muhammad Abduh yang disetujui oleh Rasyid Ridha mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah sejumlah cara yang akan membawa kepada kebahagiaan. Diantara cara-cara tersebut adalah akidah, etika, hukum dan ajaran. Mahmud Syalthut berpendapat bahwa jalan yang lurus adalah himpunan semua jalan yang membawa manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, ia memastikan bahwa yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah Islam.
A 3 . Ayat ke Tujuh
“ (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Sirathal Ladzina An`Amta `Alaihim Ayat ini merupakan penjelasan terhadap kata shirathal mustaqim pada ayat sebelumnya. An’amta berakar kata dari na’ima yan’amu na’matan yang merupakan penganugerahan nikmat nikmat dari Alloh. Kata nikmat yang dimaksud dalam ayat al fatihah ini adalah nikmat yang paling bernilai, yang tanpa nikmat itu nikmat yang lain tidak akan mempunyai nilai berarti.
            Ada empat kelompok manusia yang mendapatkan nikmat keagamaan secara kusus, yaitu ; nabi, shidiqin, syuhada’, orang orang sholeh. Melalui ayat ini merupakan pengajaran kepada manusia agar mencontoh orang orang yang telah kusus mendapat ni’mat dari Alloh. Pengajaran ini dalam artian pencontohan kebaikan kebaikan yang mereka lakukan.
 Penjelasan ini ditinjau dari sikap manusia terhadap jalan yang lurus tersebut. Sikap-sikap tersebut terbagi kepada tiga. Pertama adalah orang beriman, merekalah yang tetap mendapat petunjuk dan dianugerahi nikmat oleh Allah. Kedua, golongan kafir yang sama sekali tidak mendapatkan hidayah dari Allah. Ketiga, golongan munafik, yaitu mereka yang ragu-ragu, bimbang, terombang ambing antara beriman dan kafir. Orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah itu adalah orang-orang yang tersebut dalam surat an-Nissa, Allah berfirman: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Baqarah: 3-5)
Juga orang-orang yang termasuk dalam frman Allah : “ Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (an-Nissa : 69-70)
Ghairil Maghdhubi `Alaihim Wa Laddhaalin
Al maghdhubi berasal dari kata ghodhoba yang mengesankan sesuatu yang bersifat keras, kukuh, tegas. Tentang siapakah maghdhubi a’laihim, ayat ini tidak menjelaskan . sebagian mufassir menerangkan bahwa merekalah yang melakukan pelanggaran, orang musryik, penyembah berhala, orang orang yang dimurkai Alloh. Mereka yang dimurkai adalah orang-orang kafir, sesuai dengan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang Amat berat”. (QS. Al-Baqarah: 6-7)
Kata adh dholiin berasal dari kata dholla yang berarti kehilangan jalan, bingung. Dalam perkembangannya menjadi binasa, terkubur, dan dalam arti immaterial berarti sesat dari jalan kebajikan  atau lawan dari petunjuk.
Orang orang yang tergolong dalam golongan dhollin yaitu
-         orang tidak menemukan / mengenal petunjuk alloh
-         orang yang pernah memiliki pengetahuan, keimanan, namun pengetahuaan itu tidak dikembangkan dalam jiwanya sehingga pudar.
-         orang yang berputus asa.
Maka makna ayat keenam dan ketujuh dari surah Al-Fatihah ini adalah: Berikanlah kami petunjuk menju jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang beriman, bkan jalan orang-orang kafir bukan pula jalan-jalan orang munafiq. Dengan demikian ayat ini mengajarkan  manusia agar bermohon kepada alloh untuk diberi petunjuk sehingga mampu menelusuri jalan yang lurus, jalan yang pernah ditempuh oleh mereka yang pernah sukses dalam hidup ini. Ayat ini juga mengajarkan kaum muslimin agar selalu optimis menghadapi hidup.

  1. PESAN PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG

Iyyaka Na’budu... “Hanya Engkaulah yang kami sembah”...

Pada ayat kelima ini Alloh memberikan pendidikan baru : yaitu, setelah manusia melakukan puja dan puji kepada Alloh, manusia meneguhkan diri dengan melakukan deklarasi untuk secara konsisten menyembah kepada-Nya. 
 Wa Iyyaka Nasta’in. “…dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
Setelah mengajari manusia tentang metode pendekatan terhadap Alloh, beberapa pujian serta penegasan tentang sesembahan, barulah Alloh mengajarkan bahwa setelah manusia melakukan hal itu semua, maka manusia diberi “kesempatan” untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Dan pertolongan serta permintaan itu dilakukan manusia hanya ditujukan kepada Alloh, bukan yang lain. Maka tepatlah kalau Alloh menggunakan kalimat wa Iyyaka Nasta’in, yang berarti dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Pada ayat ini, sudah bisa menangkap sebagian falsafah dari surat al-Fatihah. Ringkasnya, hingga ayat ke 5 ini, adalah sebagai berikut :
  • manusia hendaklah mengenal Tuhannya, dan menjadikan Alloh  sebagai satu-satunya elemen penting dalam melakukan sesuatu. 
  • manusia hendaklah melakukan pujian-pujian terhadap Alloh Ia tentu bukan bermakna sekedar pujian secara oral, melainkan meliputi juga pengakuan penuh dari lubuk qalbu manusia atas segala kebesaran dan keagungan Tuhan. Pujian-pujian itu merupakan alat untuk melakukan pendekatan-pendekatan.
  • manusia meneguhkan diri bahwa kepada Tuhan-lah ia menyembah, dan sama sekali tidak melakukan sesembahan atau pengagungan kepada yang lain.
  • melakukan pujian dan pendekatan-pendekatan, serta peneguhan ketuhanan kepada Alloh, maka manusia menyatakan diri bahwa hanya kepada-Nya pula para manusia melakukan permintaan dan pertolongan.
Ihdinas-Shirathal Mustaiîm. “Tunjukilah kami jalan yang lurus”,
Pengajaran Alloh selanjutnya ; manusia tidak bisa berbuat sombong, oleh karenanya ia diajarkan untuk selalu memohon dan meminta, yang dalam hal ini adalah permintaan untuk sebuah kebenaran. Dan hanya kepada Alloh sajalah manusia itu memohon kebenaran.
BAB III
KESIMPULAN

Menurut Al Ghazali kisah kisah Al Quran merupakan media dan alat pendidikan. Dengan memahami kisah –kisah Al Quran Kita dapat melihat bahwa penyakit sosial masyarakat memiliki kemiripan meski mereka dipisahkan oleh waktu yang sangat lama
Pendidikan seperti apakah yang di inginkan Al Quran? Pendidikan itu adalah pendidikan rabbaniah, Peradaban yang rabbaniah, kebudayaan rabbaniah. Manusia rabbani adalah manusia yang mengetahui hakikat dirinya dan selanjutnya ia bergerak didalam kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itu Al Quran banyak menyebutkan apa saja yang dicintai Allah dan apa saja yang tidak dicintai Allah. Ini menurut AL Ghazali memiliki makna tarbiyah (pendidikan). Karena seorang mukmin akan melakukan apa yang dicintai Allah dan meninggalkan apa yang dibenci Allah. Dan keduanya memiliki makna ibadah, karena ibadah tidak hanya di dalam masjid tetapi ia bisa dilakukun di segala tempat
Surah Al Fatihah dalam ayat lain yang juga mengisyaratkan pendidikan, terdapat pada ayat iyyaka na`bu wa iyyaka nastaiin, ayat ini mengandung tujuan utama atau tujuan akhir pendidikan. Sebagaimana diungkapkan para tokoh pendidikan Islam bahwa tujuan pendidikan yang paling utama adalah yang sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia, yaitu yaitu menanamkan ketakwaan. Sebagaimana firman Allah: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat: 56)



DAFTAR PUSTAKA

- Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah , Jakarta, Lentera Hati,  2009
-Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
-`Munawir AW, Kamus Al munawir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya, Pustaka Progresif, 2002
-Departemen agama, Al Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode angka, Tangerang, Kalim, 2010

1 komentar:

Posting Komentar